Kamis, 03 April 2014

bima dan abimanyu

Angin malam berhembus perlahan melalui jendela yang terbuka. Dalam remang beranda yang lampunya sengaja kupadamkan, semak perdu di halaman bergoyang pelan dalam suram cahaya bulan. Aku mencabut sebatang rokok, menyelipkannya di bibirku dan menyulutnya. Hembusan asapnya kupermain-mainkan membentuk bulatan-bulatan kecil yang kemudian segera buyar oleh angin. Masih terngiang-ngiang suara mama di telepon memintaku pulang, suara yang serak menahan isak tangis menyembunyikan getar kepedihan.

“Pulanglah, Bima. Kondisi Abimanyu sangat kritis.”

“Entahlah, Ma. Proyek penelitian yang sedang kutangani saat ini membutuhkan pengawasanku. Aku tak mau gagal dalam proyek pertamaku, Ma,” kataku beralasan.

“Pulanglah meski hanya satu atau dua hari, sekedar menemui Abimanyu. Berkali-kali dia mengigau memanggil namamu,” kata Mama mendesak memaksaku pulang.

“Tapi, Ma...”

“Pulanglah, Bima. Kalaupun kau tak mau menemui Abimanyu, setidaknya pulanglah untuk menemui Mama dan Papa, juga Kukuh, adikmu. Sudah bertahun-tahun kau tak pulang,” Mama memotong kata-kataku diselingi isak tangis. Aku bingung harus menjawab bagaimana, namun akhirnya aku menyanggupi untuk pulang.

Dingin udara malam menusuk kulitku. Aku menutup pintu dan jendela kemudian mempersiapkan pakaian yang akan kubawa dalam penerbangan esok pagi. Mataku sulit kupejamkan namun tetap kupaksakan untuk tidur. Agu bangun pagi-pagi sekali, bergegas mandi dan naik taxi ke bandara.

Pesawat take off tepat waktu. Dengung mesin pesawat tak kuacuhkan. Aku memandangi hamparan awan jauh di bawahku. Hampir sepuluh tahun lamanya aku meninggalkan Sorong, kini aku akan kembali. Aku tak mampu membayangkan seperti apa kotaku kini, kalimat apa yang akan kuucapkan saat bertemu Mama, Papa, Kukuh, dan juga Abimanyu.

Roda-roda pesawat mendarat mulus di landasan. Setelah pesawat berhenti, aku bergegas turun. Aku hanya membawa tas ransel kecil berisi pakaian ganti untuk satu atau dua hari sehingga tak perlu berlama-lama menunggu antrian pengambilan bagasi. Aku celingukan mencari kukuh di tempat parkir. Hampir sepuluh tahun aku tak pernah bertemu dengannya, mungkin aku tak mengenal wajah kukuh. Kuhidupkan telepon genggam berniat menelepon kukuh, namun urung kutelepon ketika sebuah mobil hitam mengkilap meluncur ke arahku. Dari balik jendela kemudi menyembul sesosok pemuda seumurku.

“Ini mas Bima, kan?” tanyanya.

“Kamu Kukuh?” jawabku balik bertanya.

Dia membukakan pintu depan dari dalam.

“Mas Bima sudah lama tidak pernah pulang, pantas saja tidak mengenaliku,” katanya sambil mengemudikan mobil.

Aku tidak menanggapi kata-katanya, hanya memandangi jalanan yang becek. Sorong tak banyak berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Beberapa hotel dan super market telah banyak bermunculan, namun aku masih mampu mengingat ruas-ruas jalan utama kota kelahiranku ini. Mama mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan aku dan saudara kembarku. Kemudian Papa memberi nama Teguh padaku, dan Tegar pada saudara kembarku. Aku dan tegar dirawat dan disusui oleh adik Papa yang paling bungsu yang kebetulan baru melahirkan Kukuh, putra pertamanya beberapa minggu sebelum kelahiran kami. Mendadak Beliau memiliki tiga anak yang harus disusui, yaitu  aku, Tegar dan Kukuh.

Guncangan mobil saat rodanya terperosok di jalanan yang tak rata membuyarkanku dari lamunan.

“Hei, kita akan ke mana?”

“Ke rumah,” kata Kukuh.

“Kenapa tidak langsung ke rumah sakit saja?”

“Mas Abimanyu sudah dibawa pulang dari rumah sakit, mas,” kata kukuh datar.

“Berarti dia sudah sembuh. Mama terlalu membesar-besarkan,” kataku bergumam.

Kukuh melirik ke arahku dan mendesah menghela nafas. Aku menoleh sekilas ke arah Kukuh.  Dapatlah dikatakan bahwa aku, Tegar dan Kukuh adalah saudara kembar tiga. Kami saling bersaing dalam prestasi, namun Mama memperlakukan kami dengan adil. Sebetulnya Mama adalah Tanteku karena Beliau adalah adik bungsu Papa. Namun beliau telah menjadi Mamaku seumur hidupku. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku, dan pada Tegar tanpa Beliau. Dua tahun setelah Mama meninggal, Papa pun menyusul mama. Aku dan Tegar mengetahui rahasia ini saat kami masuk SMA, ketika petugas penerimaan pendaftaran siswa baru melihat formulir isian biodata kami dan menanyakan pada Mama, mengapa data kami berbeda dengan data milik Kukuh.

Mama kemudian menceritakan semuanya setelah sampai di rumah. Aku menangis meraun-graung dan mengamuk memukuli pohon pisang di samping rumah. Tegar menenangkanku, nampak tabah. Namun kemudian kuketahui bahwa dia pun sesungguhnya sangat terluka. Beberapa hari, setiap malam Tegar menahan isak tangis dalam tidurnya, sementara aku telah pulih dari kesedihanku. Aku mengkhawatirkan keadaan Tegar, menceritakannya pada Mama.

“Tidak usah khawatir nanti pasti akan baik-baik saja,” kata Mama menenangkanku.

“Tapi setiap malam dia menangis, Ma. Sementara aku sudah tidak terlalu sedih lagi,” kataku ngotot.

“Sebab kau adalah Bima dan dia Abimanyu,” kata mama kalem.

“Kenapa Mama selalu memanggilku Bima dan memanggil Tegar dengan panggilan Abimanyu?” tanyaku.

“Ya, begitulah. Karena kau Bima dan dia Abimanyu,” jawab beliau.

Papa yang kebetulan mendengar pembicaraan kami, menghampiriku dan berkata, “Kau tahu tokoh bima dalam cerita Mahabharatta? Dia sangat kuat, gagah berani dan sakti mandraguna, tapi gampang tersulut emosi. Ketika dia marah, dia langsung melampiaskan amarahnya, namun setelah itu perasaan marahnya segera reda.”

“Jadi aku gampang marah seperti Bima, Pa?”

“Ya, begitulah kira-kira. Coba kau ingat-ingat. Siapa yang memukuli pohon pisang di samping  sampai roboh?”

“Papa kok malah ngeledek?”

“Papa bukan bermaksud seperti itu, Bima,” kata Mama menanggapi.

“Berbeda dengan Abimanyu. Kau tahu, pada saat perang Bharatayudha berkecamuk di lembah Kurusetra, Abimanyu dengan gagah berani menangkis hujan anak panah, menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Raja Puntadewa. Seluruh tubuhnya tertusuk anak panah, namun tak sedikitpun dia mengeluh. Dia tak mau menunjukkan sakit dan pedihnya pada siapapun,” kata Papa kemudian.

“Mas Bima, sudah sampai,” kata kukuh menguncangkan bahuku, membangunkanku dari lamunan.

“Kenapa banyak orang di rumah kita?” tanyaku bingung.

Kukuh hanya mengangkat bahu, tidak menjawab pertanyaanku.

Mama tergopoh-gopoh menyongsong dan memelukku, memegang lenganku erat-erat dan membimbingku ke beranda samping ke dekat keran air.

“Berwudhulah, Bima. Biarkan air wudhu meluruhkan semua bebanmu,” kata Mama menenangkanku.

Kukuh yang mengikutiku dari belakang juga berwudhu. Setelah itu Mama menuntunku ke ruang keluarga, kudapati sebuah peti jenazah.

“Abimanyu sudah meninggal, Mas,” kata kukuh datar.

Aku, Papa, Kukuh dan beberapa kerabat kemudian menshalati jenazah tegar. Prosesi pemakaman kuikuti dengan hati yang campur aduk.

Senja itu aku masih dirundung kesedihan. Mama mencabuti rumput liar di sela-sela tanaman bunga. Aku duduk melamun di kursi taman. Mama menghampiriku dan duduk di sampingku.

“Abimanyu menitipkan sesuatu untukmu, Bima.”

“Aku tidak menginginkan harta peninggalannya, Ma,” kataku.

“Bukan it, Bima. Dia ingin meminta maaf padamu,” kata mama berhati-hati.

“Aku sudah memaafkannya,” kataku datar.

“Dia menitipkan album foto ini untukmu.”

Mama menyerahkan sebuah album tebal dan sebuah catatan harian kepadaku, kemudian kembali menyibukkan diri dengan tanaman bunganya.

Membuka album  yang berisi foto-foto saat kami masih bersama-sama itu, seakan merangkaikan kepingan-kepingan puzzle masa laluku. Aku dan Tegar yang sebenarnya adalah dua orang saudara  kembar, berubah menjadi dua makhluk yang saling asing. Segalanya bermula saat aku sakit demam berdarah dan membutuhkan donor  darah. Dengan entengnya dia mengatakan, “Aku tak bisa mendonorkan darahku.”

“Setidaknya coba dicek dulu di laboratorium, mungkin saja Hb-nya mencukupi,” kata Kukuh.

“Maaf, aku tak bisa,” katanya seraya beranjak pergi.

Hatiku pun terluka. Masih kuingat saat aku merawatnya ketika dia terjatuh dari motor bersama temannya sepulang les. Dia hanya luka ringan, sedangkan temannya terluka parah. Sesungguhnya aku telah memaafkan sikapnya yang seakan tak peduli bahwa aku, saudara kembarnya yang golongan darahnya sama dengannya, membutuhkan donor darah. Hanya saja hari-hari setelahnya, dia seakan menjadikanku sosok asing baginya, dan mengasingkan diri dariku.

Berkat perolehan medali olimpiade internasional dalam bidang matematika, aku mendapat kesempatan untuk menjalani beasiswaku di MIT selepas SMA. Sebenarnya Tegar pun mendapatkan beasiswa yang sama, bahkan dari beberapa universitas terkemuka dekaligus sebab perolehan medalinya jauh lebih baik dariku. Dia mendapatkan emas, sedangkan aku hanya mendapatkan perunggu. Namun entah apa yang merasukinya, dia menolak semua tawaran beasiswa itu.

Aku berharap bahwa jika kami bisa bersama-sama kuliah di tempat yang jauh dari rumah, akan membuat kami dapat akrab kembali sebagaimana layaknya dua orang saudara kembar.  Dan penolakannya atas tawaran beasiswa itu kuanggap sebagai penolakannya atas diriku. Bertahun-tahun aku tidak menelepon ataupun mengirim surat ke rumah. Setelah aku merampungkan kuliahku, aku diterima bekerja sebagai staf peneliti di sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Seorang staf deneliti di divisi yang sama denganku mengenalkanku pada ajaran agama yang selama ini hanya sekedar status dalam kartu identitasku, menyadarkanku bahwa selama ini aku telah durhaka kepada orang tua dan saudara-saudaraku. Aku mulai rajin menelepon ke rumah, namun aku menolak untuk berbicara pada Tegar.

Baru kini kuketahui bahwa teman Tegar yang pada saat kecelakaan dari motor terluka parah sampai-sampai darahnya membasahi kemeja Tegar adalah seorang pengidap HIV. Dan penolakan Tegar untuk mendonorkan darahnya kepadaku, bahkan sekedar untuk menjalani pemeriksaan di laboratorium transfusi darah pun tidak mau, adalah untuk kebaikanku sendiri. Sebab saat seseorang tertular HIV, pemeriksaan laboratorium tak akan mampu mendeteksi selagi masih dalam window period.

“Jadi selama ini Mama telah mengetahuinya?” tanyaku pada Mama.

Mama hanya diam.

 “Alangkah kejamnya aku, membiarkan saudara kembarku digerogoti penyakit tanpa pernah menjenguknya, bahkan berbicara di telepon pun aku selalu menolaknya. Aku tak bisa membayangkan bahwa selagi menjalani sisa-sisa akhir hidupnya, dia hanya mampu memandangi album foto ini, mengenang saat-saat kebersamaan kami.”

“Sudahlah, Bima. Tak perlu kau menyalahkan dirimu sendiri. Abimanyu telah memaafkanmu sejak bertahun-tahun yang lalu.”

“Kenapa selama ini Mama tak pernah menceritakannya padaku di telepon?”

“Semula Mama ingin menceritakannya padamu setiap kali Mama meneleponmu, namun Abimanyu memohon pada mama untuk tidak menceritakannya padamu melalui telepon.”

“Aku tak bisa memahami, kenapa Tegar melarang  Mama menceritakannya lewat telepon?”

“Mama bisa mengerti, sebab dia Abimanyu. Dia tak ingin menunjukkan sakit dan kepedihannya padamu.”

“Apakah dia sangat menderita saat menghadapi kematiannya? Ceritakan padaku, Ma.”

“Mama akan menceritakan padamu tentang ketegarannya menyongsong kehidupan abadinya,” kata Mama dengan senyum arif.


1 komentar:

  1. Blackjack Online - JtmHub
    Online blackjack is a modern, fun and enjoyable casino game which offers a variety of 태백 출장샵 game 안양 출장샵 options from 의왕 출장마사지 real 보령 출장샵 dealers. Practice and win  Rating: 4.2 구리 출장마사지 · ‎7 votes

    BalasHapus